Selasa, 07 Februari 2012

Kebudayaan Hijriah


Tatkala Umar bin Khaththab berkirim dan berbalas surat dengan kerajaan tetangga, sang raja menanyakan isi suratnya, tanggalnya ada, harinya ada, bulannya ada, tapi tahunnya tahun berapa? Ya, memang masa-masa sebelum tahun dalam kalender islam didasarkan pada kejadian alam. Umpamanya Nabi Muhammad saw dilahirkan pada 12 Rabiul Awwal, tahun Gajah, karena waktu Nabi lahir bersamaan dengan serangan Abrahah yang berpasukan penunggang gajah.
Menyadari sekaligus menyikapi bahwa umat islam belum punya kalender tahun, Umar segera mengumpulkan para pembesar terkait dengan menggelar rapat. Semua sepakat, bahwa tahun hitungan islam itu perlu. Sejumlah usulan muncul. Ada yang mengusulkan tahun baru islam dimulai dari lahirnya Nabi Muhammad. Lainnya berpendapat dihitung dari turunnya Alquran. Opsi berikutnya, diawali dari peristiwa Isra Mi’raj. Selanjutnya, didasarkan pada pertimbangan hijrahnya Nabi Muhammad dan para sahabat dari Mekah ke Madinah, dan ada juga yang berpendapat bahwa tahun baru islam hendaknya dihitung untuk pertama kali dari sejak wafatnya Rasulullah.
Seperti biasa dalam sebuah rapat apalagi memutuskan perkara yang maha penting, selalau diwarnai debat yang menghangat, tapi dalam rapat ini tidak sampai memanas. Akhir kesimpulan diperoleh kesepakatan bahwa, tahun baru islam dimulai sejak hijrahnya Muhammad Rasulullah dari Mekah ke Madinah.
Alasannya, lebih rasional dan lebih menghargai proses kerja ikhtiar seorang hamba Allah dibanding dengan sekedar menomorsatukan figur Muhammad sebagai sosok pribadi. Nabi Muhammad juga tidak memperkenankan umatnya untuk melukiskan wajah beliau. Terdapat kekhawatiran besar atas umatnya terjebak dalam kultus individu. Beliau pernah mengingatkan, “laa tusayyiduunii!” (Jangan kalian sayyidkan aku). Tetapi jika ungkapan sayyid sebatas takzim, memuliakan akhlak yang memang suci, rasanya tidak masalah. Itu bagus. Nabi saw juga sempat mengungkapkan ana sayyidu waladubnu adam (aku adalah sayyidnya anak-anak Adam), Anna sayyidul mursalin (aku adalah sayyidnya para utusan). Juga ada gelar sayyidul anbiya, sayyidnya para nabi. Yang menggelari sayyid bukan Nabi Muhammad sendiri, tapi langsung informasi itu datangnya dari Allah SWT.

Dijadikannya hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Madinah sebagai tahun baru islam, bukan hanya sebatas tonggak sejarah biasa, melainkan memuat pesan moral-sosial-spiritual luar biasa. Ini selaras dengan penamaan Islam sebagai agama. Bukan agama Muhammad melainkan agama Islam. Dalam bahasa Alquran, Islam memiliki lebih dari sati arti (lafad musytarak), makna Islam yaitu selamat, damai, sejahtera, dan patuh.
Sangat banyak hal yang dikerjakan Rasulullah di Madinah. Diantaranya membangun persatuan sesame penduduk Madinah lewat piagam Madinah. Sebuah kesepakatan dan kesepahaman bersama yang disetujui seluruh komponen: Islam, Nashrani, Yahudi dan aliran kepercayaan. Tidak saling ganggu dalam masalah keyakinan dan ibadah. Saling bantu diwilayah muamalah (pergaulan social-kemanusiaan). Jika ada yang mengganggu ketentraman di Madinah, berarti gangguan itu dijadikan musuh bersama. Para sejarawan menilai, Piagam Madinah selain konstitusi perdamaian tertulis tertua di dunia, juga merupakan perjanjian antara pemeluk keyakinan serta suku yang berbeda di semenanjung Arabia. Lebih lengkapnya, silahkan baca poin-poin Piagam Madinah di sangat banyak buku sejarah Islam. Para sejarawan juga menyatakan, inilah perjanjian damai pertama ditanah Arab setelah berates-ratus tahun terjadi saling serang antar suku. Egoisme kesukuan dikikis habis oleh Rasulullah. Persamaan derajat dijunjung tinggi. Tetapi sayang, suku-suku asal Yahudi berkhianat membuat makar dalam Negara, yang akhirnya Allah SWT mengizinkan Nabi saw dan semua unsure kekuatan Madinah untuk memerangi seluruh kaum Yahudi yang bejerja sama dengan kaum kafir Quraisy.
Kawasan madinah semula bernama Yasrib. Madinah yang salah satu artinya adalah kota sengaja dicetuskan oleh Rasulullah saw. Kota adalah lambing percepatan peradaban, kota, symbol kemajuan. Kota, kata lain dialektika dari perubahan sejarah. Kelak, dalam waktu tempo yang sangat singkat, kekuatan sosial-politk Madinah sangat diperhitungkanoleh kalangan internasional pada masa itu.
“Laa hijrata ba’da hadza (tidak ada hijrah setelah ini, di Madinah),” demikian tutur Nabi Saw. Tidak ada lagi hijrah secara fisik. Hijrah dalam arti bedol Negara. Yang ada hijrah dalam pengertian sikap, mental, akhlak, ikhtiar ke arah yang jauh lebih baik, berkualitas dan produktif disemangati oleh niat melamar ridha Allah SWT.
Semangat hijriah berarti kesiapan memacu diri dan masyarakat sekitar berjalan bahkan berlari menggedor tembok kebuntuan sejarah untuk kemudian mencari strategi baru guna menggali sejumlah solusi dalam menjalani tugas kekhalifahan kita. Menguakkan rahasia yang selama ini menggelapkan diri dari jalan keagamaan serta ketidakmenentuan nilai. Menyibakkan sejumlah alternatif buat buat kemaslahatan umat. Merumuskan dan mengagendakan apa saja yang mesti kita kerjakan.
Pesan hijriah, menuntut perpindahan suatu sikap optimistis dan kerja keras ke sesuatu nilai tambah, efisiensi, strategis, dan manfaat yang lebih dari yang semula diperoleh. Dalam diri manusia sudah Allah sediakan energi pertumbuhan hingga mencapai buah terbaik dari perjalanan yang ditempuhnya. Dalam proses ikhtiar menapaki rute-rute sejarah sudah pasti kita butuh adaptasi atas suasana tertentu yang boleh jadi kita rasa tak bersahabat. Malah cenderung memusuhi. Kita sering dengar Allah tidak akan memberikan beban kepada suatu kaum, kecuali sesuai dengan kekuatan kaum itu. Namun kenyataan sedemikian menohok didepan mata kita. Yakni banyak yang memilih bunuh diri. Bunuh diri dalam arti memilih mempercepat kematian dengan cara gantung diri atau yang semacamnya, maupun bunuh diri dalam arti frustasi sosial. Mematikan harapan. Membunuh potensi yang belum digali sama sekali. Mengkerdilkan kemampuan-kelebihan titipan anugerah Allah yang Ia titipkan untuk dieksplorasi.
Jika kita sepakat memahami kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka setiap manusia adalah budayawan. Penghasil produk kebudayaan. Hasilnya bisa berbeda-beda. Watak zaman dan kondisi geografis senantiasa menyuguhkan tantangannya tersendiri. Watak zaman dan kondisi geografis tidak sama dari satu generasi ke generasi berikutnya dan memerlukan kebijakan yang solutif. Segenap rasa dan piker sejatinya bisa menangkap isyarah-isyarah perubahan dan menyelesaikannya dengan tuntas.
Simak saja mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada para Nabi-Nya. Misalnya, Shaleh as bisa mengeluarkan unta dari batu, Ibrahim as tidak terbakar dalam kobaran api, Musa as tongkat jadi ular, Daud as melunakan besi dengan tangan, Sulaiman as mampu berbicara dengan binatang, Isa as menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan orang yang telah meninggal dan di masa Nabi Muhammad mukjizat terbesarnya adalah Alquran, selain ratusan mukjizat yang bersifat fisikal.
Menarik kita simak mukjizat yang Allah berikan secara evolutif. Dari bersifat fisikal ke dunia pikir. Dari sesuatu yang menakjubkan dalam pndangan panca indra, melaju ke wilayah orgasme ruhaniyah. Dari biologis ke ideologis. Sebuah pertunjukan gerak zaman. Dan umat Muhammad mewakili umat manusia yang seharusnya lebih dewasa.
Apa saja yang kita miliki dari semua yang Allah anugerahkan sangat berpotensi untuk kita hijrahkan ke derajat yang jauh lebih tinggi. Yang bersifat kebendaan maupun rasa dan pikiran. Yang ada pada diri kita bukan barang mati. Namun bisa digerakkan dan diberdayagunakan.
Semangat hijriah adalah motivasi menuju puncak optimalisasi potensi denga mental taqwa sebagai jiwa gerakan. Momen hijriah idealnya sentuhan kepekaan terhadap diri dan gairah menaburkan cinta dan keberbagian diantara sesame. Mengubah nafsu Ankara ke kondisi muthmainnah. Memilih jalan dalam peta keterbimbingan wahyu dan menanggalkan serta meninggalkan bisikan syahwat pribadi. Semakin berupaya meningkatkan profesionalisme, maka tambah Nampak sumbangan sosial-spiritual yang bisa kita setorkan guna keberlangsungan hidup dan kehidupan.
Sumber: M.L. Nihwan Samuranje (GM)

Sabtu, 04 Februari 2012

Tangisan Kaum Adam

Tahukah engkau, kaum pria sesungguhnya jauh lebih sering MENANGIS..:’(. Namun mereka menyembunyikan tangisnya di dlm kekuatan akalnya.

Itulah mengapa Tuhan menyebutkan pada pria terdapat 2x lipat akal seorang wanita. Dan itulah sebabnya mengapa tiada yg kau lihat melainkan ketegarannya.

Pria menangis karena tanggung jawabnya di hadapan Tuhannya. Dia menjadi tonggak penyangga dalam rumah tangga. Menjadi pengawal Tuhan bagi Ibu, saudara perempuan, istri & anak-anaknya.

Maka…
tangisnya pun tidak pernah nampak di bening matanya. Tangis pria adalah pada keringat yg bercucuran demi menafkahi keluarganya.

Tidak bisa kau lihat tangisnya pada keluh kesah di lisannya. Pria “menangis” dalam letih & lelahnya menjaga keluarganya dari kelaparan.

Tidak dapat kau dengar tangisnya pada omelan-omelan di bibirnya. Pria menangis dalam tegak & teguhnya dalam melindungi keluarganya dari terik matahari, deras hujan serta dinginnya angin malam.

Tidak nampak tangisnya pada peristiwa kecil & sepele. Pria menangis dalam kemarahannya, bila kehormatan diri & keluarganya digugat.

Pria menangis dengan sigap bangunnya di kegelapan dini hari…

Pria menangis dengan bercucuran peluhnya dalam menjemput rejeki….

Pria menangis dengan menjaga serta melindungi orang tua, anak & istri…

Pria menangis dgn tenaga dan darahnya menjadi garda bagi agamanya….

Namun…
Pria pun sungguh2 menangis dengan air matanya di kesendiriannya, menyadari tanggungjawabnya yg besar di hadapan Tuhannya….

Pandanglah Ayah…..

Pandanglah Suami…..

Pandanglah Saudara2 laki2…..

Sesungguhnya syurga Allah berada di dlm keridha’an mereka..

Pengertian Taqwa

Menurut Imam al-Ghazali rahimahullah, kalimah taqwa yang terdapat di dalam al-Quran al-Karim membawa tiga makna:
- Pertama, bermakna takut, gerun atau ngeri (haybah). Antara firman Allah Taala yang tersisip kalimah takwa yang membawa makna tersebut ialah: Dan bertakwalah (takutilah) suatu hari yang kamu akan dikembalikan kepada Allah. (2 : 281)
- Kedua, bermakna taat. Contohnya seperti yang terdapat dalam firman Allah yang maksudnya: Hai sekalian orang yang beriman, bertakwalah (taatlah) kepada Allah dengan sebanr-benar takwa (taat). (3 : 102)
- Ketiga, mengandungi maksud, menyucikan hati daripada dosa. Contohnya dalam firman Allah yang mafhumnya: Dan sesiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka itulah orang-orang yang beroleh kemenangan. (24 : 52)
Kalimah “bertakwa” dalam ayat terakhir di atas bukan lagi bermakna taat atau takut kerana kalimah-kalimah “taat” dan “takut” telah disebutkan sebelumnya dalam ayat di atas. Jadi “bertakwa” dalam ayat di atas bermaksud, menyucikan hati daripada dosa. Makna yang ketiga inilah merupakan takrif kepada istilah takwa. Mengikut para ulamak: “Takwa itu ialah menyucikan hati daripada dosa sehingga menguatkan azam untuk meninggalkan dosa dan seterusnya memelihara diri daripada segala maksiat”.
Imam al-Ghazali membuat kesimpulan : Bahawa takwa itu ialah menjauhkan setiap apa yang ditakuti akan membawa mudharat kepada agama. Bandingannya ialah berpantang bagi orang yang mengidapi penyakit. Ada pun berpantang daripada melakukan perkara-perkara yang membawa kerosakan kepada agama pula ialah “bertakwa”.
Taqwa ialah ketundukan dan ketaatan terhadap perintah Allah dan menjauhi segala apa yang ditegahNya.