Tatkala Umar bin Khaththab berkirim dan berbalas surat
dengan kerajaan tetangga, sang raja menanyakan isi suratnya, tanggalnya ada,
harinya ada, bulannya ada, tapi tahunnya tahun berapa? Ya, memang masa-masa
sebelum tahun dalam kalender islam didasarkan pada kejadian alam. Umpamanya
Nabi Muhammad saw dilahirkan pada 12 Rabiul Awwal, tahun Gajah, karena waktu
Nabi lahir bersamaan dengan serangan Abrahah yang berpasukan penunggang gajah.
Menyadari sekaligus menyikapi bahwa umat islam belum
punya kalender tahun, Umar segera mengumpulkan para pembesar terkait dengan
menggelar rapat. Semua sepakat, bahwa tahun hitungan islam itu perlu. Sejumlah
usulan muncul. Ada yang mengusulkan tahun baru islam dimulai dari lahirnya Nabi
Muhammad. Lainnya berpendapat dihitung dari turunnya Alquran. Opsi berikutnya,
diawali dari peristiwa Isra Mi’raj. Selanjutnya, didasarkan pada pertimbangan
hijrahnya Nabi Muhammad dan para sahabat dari Mekah ke Madinah, dan ada juga
yang berpendapat bahwa tahun baru islam hendaknya dihitung untuk pertama kali
dari sejak wafatnya Rasulullah.
Seperti biasa dalam sebuah rapat apalagi memutuskan
perkara yang maha penting, selalau diwarnai debat yang menghangat, tapi dalam
rapat ini tidak sampai memanas. Akhir kesimpulan diperoleh kesepakatan bahwa,
tahun baru islam dimulai sejak hijrahnya Muhammad Rasulullah dari Mekah ke
Madinah.
Alasannya, lebih rasional dan lebih menghargai proses
kerja ikhtiar seorang hamba Allah dibanding dengan sekedar menomorsatukan figur
Muhammad sebagai sosok pribadi. Nabi Muhammad juga tidak memperkenankan umatnya
untuk melukiskan wajah beliau. Terdapat kekhawatiran besar atas umatnya
terjebak dalam kultus individu. Beliau pernah mengingatkan, “laa tusayyiduunii!” (Jangan kalian
sayyidkan aku). Tetapi jika ungkapan sayyid sebatas takzim, memuliakan akhlak
yang memang suci, rasanya tidak masalah. Itu bagus. Nabi saw juga sempat
mengungkapkan ana sayyidu waladubnu adam
(aku adalah sayyidnya anak-anak Adam), Anna
sayyidul mursalin (aku adalah sayyidnya para utusan). Juga ada gelar sayyidul anbiya, sayyidnya para nabi.
Yang menggelari sayyid bukan Nabi Muhammad sendiri, tapi langsung informasi itu
datangnya dari Allah SWT.
Dijadikannya hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Mekah ke
Madinah sebagai tahun baru islam, bukan hanya sebatas tonggak sejarah biasa,
melainkan memuat pesan moral-sosial-spiritual luar biasa. Ini selaras dengan
penamaan Islam sebagai agama. Bukan agama Muhammad melainkan agama Islam. Dalam
bahasa Alquran, Islam memiliki lebih dari sati arti (lafad musytarak), makna Islam yaitu selamat, damai, sejahtera, dan
patuh.
Sangat banyak hal yang dikerjakan Rasulullah di
Madinah. Diantaranya membangun persatuan sesame penduduk Madinah lewat piagam
Madinah. Sebuah kesepakatan dan kesepahaman bersama yang disetujui seluruh
komponen: Islam, Nashrani, Yahudi dan aliran kepercayaan. Tidak saling ganggu
dalam masalah keyakinan dan ibadah. Saling bantu diwilayah muamalah (pergaulan
social-kemanusiaan). Jika ada yang mengganggu ketentraman di Madinah, berarti
gangguan itu dijadikan musuh bersama. Para sejarawan menilai, Piagam Madinah
selain konstitusi perdamaian tertulis tertua di dunia, juga merupakan
perjanjian antara pemeluk keyakinan serta suku yang berbeda di semenanjung
Arabia. Lebih lengkapnya, silahkan baca poin-poin Piagam Madinah di sangat
banyak buku sejarah Islam. Para sejarawan juga menyatakan, inilah perjanjian
damai pertama ditanah Arab setelah berates-ratus tahun terjadi saling serang
antar suku. Egoisme kesukuan dikikis habis oleh Rasulullah. Persamaan derajat
dijunjung tinggi. Tetapi sayang, suku-suku asal Yahudi berkhianat membuat makar
dalam Negara, yang akhirnya Allah SWT mengizinkan Nabi saw dan semua unsure
kekuatan Madinah untuk memerangi seluruh kaum Yahudi yang bejerja sama dengan
kaum kafir Quraisy.
Kawasan madinah semula bernama Yasrib. Madinah yang
salah satu artinya adalah kota sengaja dicetuskan oleh Rasulullah saw. Kota
adalah lambing percepatan peradaban, kota, symbol kemajuan. Kota, kata lain
dialektika dari perubahan sejarah. Kelak, dalam waktu tempo yang sangat
singkat, kekuatan sosial-politk Madinah sangat diperhitungkanoleh kalangan
internasional pada masa itu.
“Laa
hijrata ba’da hadza (tidak ada hijrah setelah ini, di
Madinah),” demikian tutur Nabi Saw. Tidak ada lagi hijrah secara fisik. Hijrah
dalam arti bedol Negara. Yang ada hijrah dalam pengertian sikap, mental,
akhlak, ikhtiar ke arah yang jauh lebih baik, berkualitas dan produktif
disemangati oleh niat melamar ridha Allah SWT.
Semangat hijriah berarti kesiapan memacu diri dan
masyarakat sekitar berjalan bahkan berlari menggedor tembok kebuntuan sejarah
untuk kemudian mencari strategi baru guna menggali sejumlah solusi dalam
menjalani tugas kekhalifahan kita. Menguakkan rahasia yang selama ini
menggelapkan diri dari jalan keagamaan serta ketidakmenentuan nilai.
Menyibakkan sejumlah alternatif buat buat kemaslahatan umat. Merumuskan dan
mengagendakan apa saja yang mesti kita kerjakan.
Pesan hijriah, menuntut perpindahan suatu sikap
optimistis dan kerja keras ke sesuatu nilai tambah, efisiensi, strategis, dan
manfaat yang lebih dari yang semula diperoleh. Dalam diri manusia sudah Allah
sediakan energi pertumbuhan hingga mencapai buah terbaik dari perjalanan yang
ditempuhnya. Dalam proses ikhtiar menapaki rute-rute sejarah sudah pasti kita
butuh adaptasi atas suasana tertentu yang boleh jadi kita rasa tak bersahabat.
Malah cenderung memusuhi. Kita sering dengar Allah tidak akan memberikan beban
kepada suatu kaum, kecuali sesuai dengan kekuatan kaum itu. Namun kenyataan
sedemikian menohok didepan mata kita. Yakni banyak yang memilih bunuh diri.
Bunuh diri dalam arti memilih mempercepat kematian dengan cara gantung diri
atau yang semacamnya, maupun bunuh diri dalam arti frustasi sosial. Mematikan
harapan. Membunuh potensi yang belum digali sama sekali. Mengkerdilkan
kemampuan-kelebihan titipan anugerah Allah yang Ia titipkan untuk dieksplorasi.
Jika kita sepakat memahami kebudayaan sebagai hasil
cipta, rasa dan karsa manusia, maka setiap manusia adalah budayawan. Penghasil
produk kebudayaan. Hasilnya bisa berbeda-beda. Watak zaman dan kondisi
geografis senantiasa menyuguhkan tantangannya tersendiri. Watak zaman dan
kondisi geografis tidak sama dari satu generasi ke generasi berikutnya dan
memerlukan kebijakan yang solutif. Segenap rasa dan piker sejatinya bisa
menangkap isyarah-isyarah perubahan dan menyelesaikannya dengan tuntas.
Simak saja mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada
para Nabi-Nya. Misalnya, Shaleh as bisa mengeluarkan unta dari batu, Ibrahim as
tidak terbakar dalam kobaran api, Musa as tongkat jadi ular, Daud as melunakan
besi dengan tangan, Sulaiman as mampu berbicara dengan binatang, Isa as
menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan orang yang telah meninggal dan di
masa Nabi Muhammad mukjizat terbesarnya adalah Alquran, selain ratusan mukjizat
yang bersifat fisikal.
Menarik kita simak mukjizat yang Allah berikan secara
evolutif. Dari bersifat fisikal ke dunia pikir. Dari sesuatu yang menakjubkan
dalam pndangan panca indra, melaju ke wilayah orgasme ruhaniyah. Dari biologis
ke ideologis. Sebuah pertunjukan gerak zaman. Dan umat Muhammad mewakili umat
manusia yang seharusnya lebih dewasa.
Apa saja yang kita miliki dari semua yang Allah
anugerahkan sangat berpotensi untuk kita hijrahkan ke derajat yang jauh lebih
tinggi. Yang bersifat kebendaan maupun rasa dan pikiran. Yang ada pada diri
kita bukan barang mati. Namun bisa digerakkan dan diberdayagunakan.
Semangat hijriah adalah motivasi menuju puncak
optimalisasi potensi denga mental taqwa sebagai jiwa gerakan. Momen hijriah
idealnya sentuhan kepekaan terhadap diri dan gairah menaburkan cinta dan
keberbagian diantara sesame. Mengubah nafsu Ankara ke kondisi muthmainnah.
Memilih jalan dalam peta keterbimbingan wahyu dan menanggalkan serta
meninggalkan bisikan syahwat pribadi. Semakin berupaya meningkatkan
profesionalisme, maka tambah Nampak sumbangan sosial-spiritual yang bisa kita
setorkan guna keberlangsungan hidup dan kehidupan.
Sumber: M.L. Nihwan Samuranje (GM)